Archive

Sejarah Tangerang

Sangego Bendungan Air Pintu Sepuluh Kota Tangerang-Salah satu peninggalan sejarah di Kota Tangerang yang masih megah terpelihara sampai sekarang adalah Bendungan Pintu Air Sepuluh atau yang juga dikenal dengan sebutan SANGEGO. Bendungan yang dibuat era tahun 1920an oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini sampai sekarang masih berfungsi dengan baik membendung Sungai Cisadane yang membelah Kota Tangerang.

Sangego Bendungan Pintu Air Sepuluh Kota Tangerang
Dengan fisik yang kokoh, tinggi bendungan ini mencapai 110 meter. Disebut dengan pintu 10, karena bendungan ini memiliki tiang penyangga sebanyak sepuluh buah dan terlihat seperti pintu yang berjumlah sepuluh buah. Bendungan ini dibangun pada awal abad ke-20 (tepatnya antara tahun 1921 sampai 1930) sebagai bentuk manifestasi Potik Etis (balas budi) yang dijalankan oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada rakyat Indonesia. Dan Tangerang yang dijadikan salah satu Benteng (Tangerang Kota Benteng) pertahanan oleh Belanda selain menjalankan potik etis tersebut juga sangat logis membangun infrastruktur di wilayah pertahanan mereka. Sehingga selain membangun bendungan pintu sepuluh untuk menjaga dan mengontrol ketinggian air Sungai Cisadane guna kepentingan mencegah banjir dan irigasi, Pemerintah Kolonial Belanda juga membangun fasilitas pengolahan air bersih di samping bendungan yang kelak diteruskan fungsinya oleh pemerintah sebagai Kantor PDAM Tangerang guna pendistribusian air baku atau air bersih untuk kawasan Tangerang.
Cikal Bakal PDAM di Tangerang (1920-1925)
Tujuan Pembuatan Bendungan Air Pintu Sepuluh sbagaimana telah disinggung di atas antara lain untuk :
  1. Memperkuat benteng pertahanan mereka yang berlokasi di Tangerang dengan kelengkapan fasilitas infrastruktur yang dapat menjamin kestabilan logistik serta kenyamanan (sinkronoisasi) lingkungan tinggal sarana penting mereka..
  2. Antisipasi ketinggian air yang akan menyebabkan banjir di wilayah Tangerang dan Jakarta tentunya. Belanda dikenal sebagai negara yang sangat canggih dalam teknologi bendungan. Demografi dan Topografi wilayah Negara Belanda berada di bawah permukaan laut. Sehingga mereka membendung laut guna Belanda tidak terendam lautan (canggih kan),
  3. Mensuplai kebutuhan air baku/air bersih yang dapat memenuhi kebutuhan wilayah di Tangerang. (Untuk kepentingan ini, mereka juga membangun tempat pengolahan air baku yang kelak sebagai cikal bakal PDAM Kota Tangerang).
  4. Tangerang dahulu kala dikenal sebagai salah satu spot lumbung pangan dengan hamparan sawah yang luas. Untuk stabilitas logistik, maka Pemerintah Kolonial Belanda membangun bendungan dengan berbagai pintu air yang terstruktur secara rapi di wilayah Tangerang. Sayang, saat ini pintu air dan gorong-gorong buatan Belanda ini tidak berfungsi lagi, dan banyak yang beralih fungsi menjadi bangunan.

 

Setidaknya Pemerintah Kolonial Belanda tidak hanya mengedepankan niatan untuk sekedar melakukan trik politik etis kepada bangsa Indonesia. Tetapi faktanya mereka membuat bendungan ini dengan sangat serius dan detail sampai mencakup pembuatan pintu air-pintu air serta gorong-gorong yang tersebar merata di wilayah Tangerang.
Bendungan Air Pintu Sepuluh Di Ufuk Senja
Bendungan pintu air sepuluh sampai dengan saat ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Tangerang, khususnya Kota Tangerang. Kalau dikonversi dengan nilai rupiah saat ini, berapa nilai biaya pembangunan bendungannya saja seperti fisik bendungan pintu sepuluh. Pastinya luar biasa besar. Setidaknya maksud dan tujuan dibangunnya bendungan ini bisa tetap dipertahankan. Ada baiknya Pemerintah selain menjaga bendungan ini, juga dapat memfungsikan kembali secara optimal pintu air dan gorong-gorong yang tersebar di wilayah Tangerang secara terintegrasi dan tersinkronisasi dengan sistem bendungan pintu air sepuluh.
Syukur-syukur keberadaan lahan pertanian yang masih tersisa dapat dipertahankan guna daerah resapan dan tangkapan air hujan, sehingga fungsi bendungan bisa terbantu secara optimal dalam mengantisipasi banjir.
Bendungan air pintu sepuluh tidak sekedaran menjadi simbol dan maskot sejarah belaka, tetapi juga dapat dibangun menjadi spot daerah objek pariwisata lokal dengan kelengkapan fasilitasnya. Dan yang paling penting, kegunaan dan fungsi utama dibangunnya bendungan pintu air sepuluh seperti diuraikan pada pointer di atas dapat berjalan.
Yuk,….. kita lestarikan sama-sama objek penting publik ini. Selamat datang di Kota Tangerang, dan jangan lupa mampir di  Sangego Bendungan Air Pintu Sepuluh Kota Tangerang . (Sumber : http://kecamatanneglasari.blogspot.com)
Original post by Rulianto Sjahputra

 

Bendungan Air Pintu Sepuluh Kota Tangerang– Bendungan ini memiliki 10 pintu air, masing-masing selebar 10 meter. Singkat cerita ternyata bapak walikota tangerang telah menulis dalam bukunya yang berjudul “Ziarah Budaya Kota Tangerang Menuju Masyarakat Berperadaban Akhlakul Karimah” tulisan dari H. Wahidin Halim (Walikota Tangerang).
Hasil pengamatan di  Bendungan Air Pintu Sepuluh Kota Tangerang  saya tidak lama singgah di sana karena ada tujuan lain. Untuk lebih jelasnya bapak Walikota ini telah mengoreskan tintanya sebagai asset untuk pengetahuan anak bangsa putra putri warga tangerang yang akan dating sebagai generasi penerus. Berikutini hasil catatan dari bapak walikota.
 
Bendungan Air Pintu Sepuluh Kota Tangerang
Pemerintah Belanda membangunnya selama enam tahun, sejak 1925 hingga 1931, dengan mendatangkan para pekerja dari Cirebon. Bendungan ini bertujuan untuk mengatur aliran sungai Cisadane hingga membuat Tangerang menjadi kawasan pertanian yang subur. Dari Bendungan Air Pintu Sepuluh Kota Tangerang ini, air didistribusikan untuk irigasi dan sumber air baku bagi kawasan Tangerang. Sebagian besar dialirkan ke muara Sungai Cisadane di Tanjung Burung (Teluk Naga) menuju ke Laut Jawa. Bangunan sepanjang 110 meter ini membentang di Kali Cisadane tepatnya di daerah Pasar Baru.
Bendungan Air Pintu Sepuluh Kota Tangerang ini sekarang dikelola oleh Balai Pengelola Sumber Daya Air (BPSDA) Cisadane-Ciujung, Kota Tangerang. Dari sini pula, para petugas BPSDA menjaga ketinggian air untuk mencegah banjir. Batas ketinggian air normal di bendungan ini adalah 12,5 meter. Ketika terjadi banjir bandang yang melanda Kota Tangerang pada 1981, ketinggian air di Pintu Air Sepuluh ini mencapai 14 meter, kendati seluruh pintunya sudah dibuka.
Sedangkan di musim kemarau, ketinggian air bisa mencapai 11 meter. Kalau sudah begini, akibatnya, lebih dari 12.000 pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di wilayah ini bisa terancam krisis air bersih. Pernah suatu ketika,  Bendungan Air Pintu Sepuluh Kota Tangerang  itu diketahui jebol di sembilan titik bendung. Kerusakan ini, karena kurangnya perawatan. Selain sampah yang menumpuk dan menutupi bagian bendungan yang jebol, juga dikarenakan besi-besi yang menopang bendungan tersebut kondisinya juga sudah dipenuhi karat.
Jebolnya sembilan bendungan yang menjadi tempat penampungan air baku PDAM Kota Tangerang itu, menyebabkan turunnya debit air Sungai Cisadane. Ambang batas normal debit air Sungai Cisadane tak bisa dipertahankan pada posisi 12,5 meter. Debit sungai yang membelah kota dan menjadi tumpuan hidup jutaan jiwa itu susut hingga 11,20 meter. Itu berarti, debit air Sungai Cisadane menyusut sekitar 1,3 meter dari kondisi normal.
Puluhan ribu pelanggan PDAM memang sangat menggantungkan hidupnya pada air Sungai Cisadane. Tak bisa dibayangkan, apa jadinya bila ketersediaan air yang menjadi bahan baku PDAM habis terbuang akibat kebocoran itu. Jebolnya sembilan titik bendung itu juga mengganggu kebutuhan air pelanggan PDAM Tirta Kerta Raharja (TKR) milik Kabupaten Tangerang. Bahkan, kegiatan dan operasional di sekitar Bandara Soekarno-Hatta juga bisa terkendala dengan menurunnya persediaan air bersih.
Turunnya debit air Sungai Cisadane, selain bakal mempengaruhi layanan terhadap pelanggan PDAM juga mempengaruhi produksi pertanian di wilayah pantura Tangerang. Akibat turunnya debit air, sekitar 900 hektare areal persawahan di tujuh kecamatan di Kabupaten Tangerang terancam puso.
Untuk mengatur turun naik seluruh pintu air yang terbuat dari besi itu, dipakai lima mesin penggerak merek HEEMAF buatan Belanda masing-masing berkapasitas 6.000 watt. Mesin yang seumur dengan usia bendungan itu sekarang masih terawat baik berkat tangan terampil petugas di sana. Mereka harus rajin meng-ganti oli mesin setiap 500 jam dan roda giginya harus senan-tiasa dilumasi gemuk. Bendungan Air Pintu Sepuluh Kota Tangerang.

Jejak Sejarah Tangerang – Literatur sejarah mencatat bahwa Jejak Sejarah Tangerang banyak diwarnai dan dipengaruhi dari akulturasi budaya dari beberapa etnis masyarakat yang dominan, antara lain meliputi budaya masyarakat Betawi, Tionghoa, Makasar, Lampung, dan budaya masyarakat Sunda. Dari sekian pengaruh budaya dominan tersebut, Titian Budaya Masyarakat Tionghoa termasuk paling menonjol dengan meninggalkan berbagai jejak sejarah yang masih dapat kita saksikan di wilayah Tangerang, khususnya Kota Tangerang. Untuk itu dalam kesempatan ini saya mencoba sedikit berbagi atau sharing mengenai Jejak Sejarah Tangerang dalam Titian Budaya Masyarakat Tionghoa sebagaimana yang dapat kita simak dalam artikel berikut ini.

SEJARAH TANGERANG
Jejak Sejarah Tangerang – Perkembangan Kota Tangerang tidak lepas dari peranan masyarakat Tionghoa yang telah menetap sejak lama. Masyarakat Tionghoa datang dan menetap di Tangerang melalui beberapa fase kedatangan. Antara lain :
1.  Fase Tahun 1407
Berdasarkan Babad Sunda dalam kitab Tina Layang Parahyang disebutkan pada tahun 1407 telah terdampar rombongan kapal laut dari negeri Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Chen Ci Lung (Panglima Ha Lung). Pada saat itu kapal laut tersebut terdampar di desa Pangkalan (yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Teluk Naga) yang pada saat itu dipimpin oleh Adipati Anggalarang. Konon nama Teluk Naga tersebut diambil dari kapal laut yang berbentuk Kepala Naga yang terdampar di sebuah teluk di desa Pangkalan tersebut.
Dikarenakan mereka terdampar serombongan menetap dan tinggal di desa tersebut dan melakukan pembauran dengan masyarakat dan melakukan kawin campur, sehingga memunculkan istilah Cina Bike (orang Tionghoa yang berasal dari keturunan bibi dan sinkhe).(Ref.lebih lanjut Baca Buku Tina Layang Parahyang).
2.  Fase Tahun 1740
Jejak Sejarah Tangerang -Terjadinya kerusuhan pada tahun 1740 yang mengakibatkan jatuhnya ribuan korban di daerah Jakarta Barat yang pada saat itu disebut Batavia. Setelah pulih dari kerusuhan tersebut, Belanda pada saat itu meminta kepada masyarakat Tionghoa untuk membuka lahan dengan menganut sistem Tanam Paksa. Dimana masyarakat Tionghoa diminta untuk menanam tanaman yang hasilnya akan dikirim ke Eropa sebagai komoditas dagang Belanda. Hal tersebut menyebabkan dibangunnya komunitas-komunitas baru seperti Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan lain sebagainya. (Ref. Baca Buku Huru Hara 1740, Tionghoa Dalam Pusaran Politik)
BENDA DAN BANGUNAN BERSEJARAH
Jejak Sejarah Tangerang – Sehubungan dengan perkembangan Tangerang yang tidak lepas dari komunitas Tionghoa maka banyak bangunan-bangunan yang merupakan peninggalan-peninggalan masyarakat Tionghoa pada jaman itu, antara lain :
1.    Klenteng Boen Tek Bio
Berdiri sekitar tahun 1684 yang terletak di kawasan Pasar Lama, Tangerang. Di dalam klenteng tersebut terdapat banyak sekali benda kuno dan bersejarah, seperti :
ð Batu Tambur (sekitar abad ke-17)
ð Patung Singa / Ciok Say (sekitar abad ke-17)
ð Lonceng kuno (sekitar abad ke-18)
ð  Prasasti Kayu (sekitar abad ke-18)
Klenteng/Vihara Boen Tek Bio Kota Tangerang
2. Klenteng Boen San Bio
Berdiri sekitar tahun 1689 yang terletak di kawasan Pasar Baru, Tangerang. Di dalam klenteng tersebut terdapat benda kuno dan bersejarah, seperti :
ð Patung Singa / Ciok Say (sekitar abad ke-17)
ð  Perahu Pecun (berusia sekitar 100 tahun )
3. Klenteng Boen Hay Bio
Berdiri sekitar tahun 1694 yang terletak di kawasan Pasar Lama, Serpong. Di dalam klenteng tersebut terdapat benda kuno dan bersejarah, seperti :
ð  Patung Singa / Ciok Say (sekitar abad ke-17)
4.  Rumah Kapitan Oey Dji San
Kapitan adalah jabatan Dewan Kong Koan yaitu sebuah perkumpulan yang dibentuk oleh Belanda untuk masyarakat Tionghoa sebagai pusat komunitas saat itu, yang pemimpinnya disebut sebagai Weijk Masteer (setingkat Lurah), Luitenant (setingkat Bupati), Kapitan (setingkat Walikota), Mayor (setingkat Gubernur).
Rumah Oey Djie San – The Gallery of Secondary House (Indische Style)
Source: KITLV
The Gallery of Secondary House – February 2009 (Rumah Oey Djie San)
Rumah Kapitan Oey Dji San terletak di daerah Karawaci dan memiliki keunikan tersendiri, diantaranya :
ð Mengandung 3 unsur arsitektur (Belanda, Cina, dan Lokal)
ð Memiliki keindahan dengan berbagai ukiran pada setiap sisi bangunannya
ð Atap rumahnya berbentuk ekor wallet.
ð Pernah menjadi tempat penampungan masyarakat Tionghoa yang telah menjadi korban kerusuhan pada tahun 1946 (Ref. Baca Buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik).
ð  Pernah menjadi pusat perkebunan karet terbesar di Tangerang.
Konon rumah ini berdiri sebelum Klenteng Boen Tek Bio.
5. Rumah Keluarga Tan Un Long
Rumah ini masih ada sampai sekarang dan terletak di daerah Gang Bansin, Karawaci Tangerang. Keunikannya adalah :
ð Atap ekor wallet
ð Memiliki papan arwah 8 generasi (konon katanya tidak ditemukan didaerah lain)
ð  Memiliki Hio Lo (tempat hio / dupa) dari sekitar abad ke-17
6. Makam Kapitan Oey Giok Koen
Kapitan Oey Giok Koen adalah tokoh masyarakat Tionghoa pada saat itu. Yang merupakan pemimpin masyarakat Tionghoa, beliau meninggal sekitar tahun 1900-an. Adapun makamnya memiliki keindahan dan keunikan tersendiri yang nisan nya konon didatangkan langsung dari Negeri Tiongkok. Namun sekarang, makam tersebut sudah tidak ada lagi, dikarenakan tidak adanya perhatian dari pemerintah setempat. Makam tersebut sebelumnya terletak di daerah Pondok Arum, Tangerang.
7. Makam Kapitan Oey Kiat Tjin
Makam seorang Kapitan Tionghoa terakhir yang meninggal pada tahun 1937 yang kini makamnya masih dapat kita lihat di daerah Karawaci, Gang H. Rain.

Rumah Kebaya, Rumah Tradisional Petani Cina Benteng

8. Rumah Kebaya

Rumah macam ini masih dapat kita temui di daerah-daerah tertentu, namun kondisinya cukup mengkhawatirkan dikarenakan banyaknya pengusaha-pengusaha property yang akan membangun perumahan.
Keunikan dari rumah kebaya:
ð Keseluruhan bangunan menggunakan unsur kayu dengan pintu di tengah diapit oleh dua buah jendela
ð Memiliki paseban untuk menerima tamu
ð  Memiliki latar untuk menjemur padi
9. Perahu Pecun
 
Perahu ini di Tangerang sangat mengandung sejarah yang sangat tinggi dan unsur budaya yang bernilai tinggi. Dimana perahu ini pernah meramaikan festival Pecun yang diadakan pada abad ke-19. Kini perahu tersebut telah dikeramatkan oleh masyarakat Tionghoa Tangerang dan berada di 3 wilayah, antara lain :
ð Di Klenteng Boen San Bio
ð Di Belakang Kantor Pajak Karawaci, Tangerang
ð  Di Pemakaman Tanah Gocap, Tangerang
10.   Kereta Jenazah
Masyarakat Tionghoa yang meninggal pada abad ke-19, umumnya dimakamkan di pemakaman umum dengan menggunakan kereta jenazah. Kereta ini berbentuk seperti delman dan didorong oleh tenaga manusia. Kereta tersebut masih dapat kita temui di Rumah Duka Boen Tek Bio, Tangerang.
Masukan dan Saran
Banyak masukan dari masyarakat Tangerang khususnya komunitas masyarakat Tionghoa yang berharap kepada pemerintah daerah dan pihak-pihak yang terkait untuk dapat lebih memperhatikan dan melindungi benda dan bangunan bersejarah tersebut dengan menetapkannya sebagai Benda Cagar Budaya sesuai dengan Undang Undang No. 5 Tahun 1992. Artikel :  Jejak Sejarah Tangerang. (Sumber : http://kecamatanneglasari.blogspot.com)
Referensi : Ziarah Kota Tangerang by Wahidin Halim, IPTI Banten & Berbagai Sumber
Repost & Sharing by Ruli@nto Sj@hputr@-2012
***###***